Rabu, 24 Februari 2010

Tugas Kelompok (Penalaran Induksi)

Penalaran Induksi adalah cara menarik kesimpulan yang bersifat umum dari hal yang khusus. Penalaran Deduksi adalah cara menarik kesimpulan berdasarkan dua kebenaran yang pasti dan tak diragukan lagi. Induksi berawal dari pengamatan dan pengetahuan inderawi. Sementara, deduksi terlepas dari pengamatan dan pengetahuan inderawi.
Aristoteles dalam filsafat Barat dikenal sebagai Bapak Logika Barat. Logika adalah salah satu karya filsafat besar yang dihasilkan oleh Aristoteles.
Sebenarnya, Logika tidak pernah digunakan oleh Aristoteles. Logika dimanfaatkan untuk meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi-proposisi yang benar, yang dipakainya istilah analitika. Adapun untuk meneliti argumentasi-argumentasi yang bertolak dari proposisi-proposisi yang diragukan kebenarannya, dipakainya istilah dialektika.
Inti logika adalah silogisme. Silogisme adalah alat dan mekanisme penalaran untuk menarik kesimpulan yang benar berdasarkan premis-premis yang benar adalah bentuk formal penalaran deduktif. Deduksi, menurut Aristoteles, adalah metode terbaik untuk memperoleh kesimpulan untuk meraih pengetahuan dan kebenaran baru. Itulah metode silogisme deduktif.
Silogisme adalah bentuk formal deduksi. Silogisme mempunyai tiga proposisi. Proposisi pertama dan kedua disebut premis. Proposisi ketiga disebut kesimpulan yang ditarik dari proposisi pertama dan kedua. Tiap proposisi mempunyai dua term. Maka, setiap silogisme mempunyai enam term. Karena setiap term dalam satu silogisme biasa disebut dua kali, maka dalam setiap silogisme hanya mempunyai tiga term. Apabila proposisi yang ketiga disebut kesimpulan, maka dalam proposisi yangketiga terdapat dua term dari ketiga term yang disebut tadi. Yang menjadi subjek konklusi disebut term minor. Predikat kesimpulan disebut term mayor. Term yang terdapat pada dua proposisi disebut term tengah.
Pola dan sistematika penalaran silogisme-deduktif adalah penetapan kebenaran universal kemudian menjabarkannya pada hal yang lebih khusus.


Apa yang disebut sebagai ‘problem of induction’ (masalah induksi) adalah salah sebuah masalah epistemiologi yang tidak pernah selesai. Sejak pertama kali diangkat oleh David Hume pada abad ke-18, banyak filsuf yang begumul dengan tantangan Hume tersebut dan menghasilkan berbagai upaya kreatif untuk menyelesaikan (atau melenyapkan) masalah ini.

Masalah mendasarnya dapat diringkas sebagai berikut. Misalkan kita mengamati sejumlah besar obyek yang memiliki sifat A dan mendapati bahwa semua obyek tersebut juga memiliki sifat B; secara alamiah kita akan menyimpulkan bahwa semua obyek yang memiliki A juga memiliki B — termasuk obyek-obyek yang kita belum pernah amati (atau tidak dapat kita amati). Pertanyaan yang diangkat oleh Hume adalah: Apa justifikasi rasional terhadap inferensi (kesimpulan) seperti itu? Secara lebih umum dapat diringkas, apa alasan untuk percaya bahwa kesimpulan kita tentang hal-hal yang teramati dapat diperluas (dengan probabilitas) untuk mencakup hal-hal yang tidak teramati? Pertanyaan dasar tersebut seringkali diformulasikan menggunakan kerangka temporal/waktu sebagai berikut: Apa alasan yang kita miliki untuk percaya bahwa kita dapat mengambil kesimpulan yang dapat diandalkan tentang hal-hal yang terjadi di masa depan (tidak teramati) berdasarkan hal-hal yang terjadi di masa lampau (teramati)?

Sayangnya kesimpulan Hume adalah kita tidak tidak memiliki alasan yang kuat untuk percaya bahwa bahwa kesimpulan induktif memiliki justifikasi. Jadi, masalah induksi adalah bagaimana memberi jawaban terhadap Hume dengan mengemukakan alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa “prinsip induksi” (yaitu prinsip yang mengatakan bahwa hal-hal di masa depan yang tidak teramati menyerupai hal-hal di masa lampau yang sudah teramati) benar. Jawaban tersebut sangat dibutuhkan karena sebagian besar riset ilmiah didasarkan pada penalaran induktif — demikian pula kesimpulan yang kita ambil tiap hari tentang apa yang kita pikir akan terjadi di dunia.

Dalam tulisan ini saya akan meringkas upaya yang paling signifikan untuk menyelesaikan masalah induksi dari perspektif sekuler; yaitu tanpa memperkenalkan tema-tema ‘religius’ seperti rancangan ilahi atau pewahyuan. Secara ringkas saya juga akan menjelaskan mengapa setiap upaya ini tidak menyelesaikan masalah.


Logika
Logika dapat didefinisikan sebagai : pengkajian untuk berfikir secara sahih.
Logika dipakai untuk menarik kesimpulan dari suatu proses berpikir berdasar cara tertentu, yang mana proses berpikir di sini merupakan suatu penalaran untuk menghasilkan suatu pengetahuan.
Cara berpikir secara logis terbagi dua, yaitu : induksi dan deduksi
Induksi merupakan suatu cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.
Deduksi adalah suatu cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Contoh suatu pemikiran induksi :
fakta memperlihatkan : kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, begitu pula singa, kucing dan binatang-binatang lainnya. Secara induksi dapat disimpulkan secara umum bahwa: semua binatang mempunyai mata.
Contoh suatu pemikiran deduksi :
contoh berikut memakai pola berpikir yang dinamakan silogismus, suatu pola berpikir yang sering dipakai dalam menarik kesimpulan secara deduksi.
 Semua mahluk mempunyai mata (Premis mayor)
 Si Polan adalah seorang mahluk (Premis minor)
 Jadi si Polan mempunyai mata (Kesimpulan)
Penarikan kesimpulan secara deduksi harus memenuhi syarat:
Premis mayor harus benar
Premis minor harus benar
Kesimpulan harus sahih (mempunyai keabsahan)
2. Penalaran
 Penalaran merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan adanya penalaran pada manusia, maka manusia dapat seperti sekarang ini dan menjadi penguasa di bumi, tempatnya hidup.
 Kemampuan menalar menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaannya.
Manusia secara terus menerus, melalui ilmu pengetahuannya, harus mengambil pilihan: mana jalan yang benar mana yang salah, mana tindakan yang baik mana yang buruk dan apa saja yang indah dan apa saja yang jelek.
Manusia mampu mengembangkan pengetahuan karena dua hal :
 Pertama, manusia mempunyai bahasa yang dapat dipakai untuk berkomunikasi
 Kedua, manusia mempunyai daya nalar, yang dipakai untuk mengembangkan pengetahuan dengan cepat dan mantap menurut suatu alur pikir tertentu
Hakikat Penalaran
Penalaran dapat dikatakan sebagai suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan.
Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan.
Berpikir adalah suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar.
Sebagai kegiatan berpikir, maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu:
 Pertama, adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika
 Kedua, adanya proses analitik dari proses berpikirnya
a. Berpikir logis adalah kegiatan berpikir berjalan menurut pola, alur dan kerangka tertentu (frame of logic) tegasnya, menurut logika berpikir yaitu :deduksi-induksi ; rasionalism-empirism; abstrak-kongkrit; apriori-aposteriori).
b. Berpikir analitis adalah konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir analisis-sintesis berdasarkan langkah-langkah tertentu (metode ilmiah/penelitian).
Logika ilmiah menggabungkan penalaran induktif dan deduktif atau gabungan empirisme dengan rasionalisme hingga menemukan kebenaran sementara atau hipotesis.
Hipotesis harus dibuktikan melalui kritisisme (Imanuel Kant) seperti yang telah diuraikan dalam kritik ilmu atau Filsafat Ilmu Pengetahuan.
3. Sumber Pengetahuan
Terdapat dua cara pokok untuk mendapatkan pengetahuan yang benar :
a. Berdasar kepada rasio
b. Berdasar kepada pengalaman (empiris)
 Kaum rasionalis menggunakan metode deduktif dalam penalaran. Premis yang dipakai dalam penalaran didapat dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini dianggap sudah ada sejak dahulu, jadi bukan ciptaan manusia, yang mana manusia hanya memperolehnya dari pemikirannya.
 Kaum empiris menyatakan sebaliknya, bahwa pengalaman diperoleh dari pengalaman yang kongkret, bukan hasil pemikiran yang abstrak
Kriteria Kebenaran
Beberapa teori tentang kebenaran dibahas pada bagian ini.
Teori kebenaran yang pertama disebut : teori koherensi. Di mana suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten denan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
 Teori yang kedua adalah : teori korespondensi.
 Di mana suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan itu. Contoh : penyataan “Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta” adalah benar karena bersifat faktual, sementara pernyataan : Ibu kota Republik Indonesia adalah Bandung” adalah salah karena tidak bersifat faktual.
Kedua teori di atas dapat dipergunakan dalam cara berpikir ilmiah.

Sedangkan untuk menemukan kebenaran ilmiah, disamping Logika harus disertai dengan :
1. Penggunaan bahasa yang jelas, mudah ditafsirkan hingga tidak salah persepsi.
2. Penggunaan metode ilmiah seperti yang telah diutarakan dipengembangan ilmu pengetahuan.
3. Penggunaan analisis dan statistik hingga menemukan kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan dan bukan kebenaran karena perasaan atau perkiraan.
Teori lain adalah : teori pragmatis.

Teori ini menyatakan kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan itu bersifat fungsional dalam kehidupan praktis Dalam teori ini , suatu pernyataan di masa lalu benar, bisa saja menjadi salah pada saat ini.

1 komentar:

  1. Tulisan di bawah ini adalah pencurian dari tulisan saya:

    Apa yang disebut sebagai ‘problem of induction’ (masalah induksi) adalah salah sebuah masalah epistemiologi yang tidak pernah selesai. Sejak pertama kali diangkat oleh David Hume pada abad ke-18, banyak filsuf yang begumul dengan tantangan Hume tersebut dan menghasilkan berbagai upaya kreatif untuk menyelesaikan (atau melenyapkan) masalah ini.

    Masalah mendasarnya dapat diringkas sebagai berikut. Misalkan kita mengamati sejumlah besar obyek yang memiliki sifat A dan mendapati bahwa semua obyek tersebut juga memiliki sifat B; secara alamiah kita akan menyimpulkan bahwa semua obyek yang memiliki A juga memiliki B — termasuk obyek-obyek yang kita belum pernah amati (atau tidak dapat kita amati). Pertanyaan yang diangkat oleh Hume adalah: Apa justifikasi rasional terhadap inferensi (kesimpulan) seperti itu? Secara lebih umum dapat diringkas, apa alasan untuk percaya bahwa kesimpulan kita tentang hal-hal yang teramati dapat diperluas (dengan probabilitas) untuk mencakup hal-hal yang tidak teramati? Pertanyaan dasar tersebut seringkali diformulasikan menggunakan kerangka temporal/waktu sebagai berikut: Apa alasan yang kita miliki untuk percaya bahwa kita dapat mengambil kesimpulan yang dapat diandalkan tentang hal-hal yang terjadi di masa depan (tidak teramati) berdasarkan hal-hal yang terjadi di masa lampau (teramati)?

    Sayangnya kesimpulan Hume adalah kita tidak tidak memiliki alasan yang kuat untuk percaya bahwa bahwa kesimpulan induktif memiliki justifikasi. Jadi, masalah induksi adalah bagaimana memberi jawaban terhadap Hume dengan mengemukakan alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa “prinsip induksi” (yaitu prinsip yang mengatakan bahwa hal-hal di masa depan yang tidak teramati menyerupai hal-hal di masa lampau yang sudah teramati) benar. Jawaban tersebut sangat dibutuhkan karena sebagian besar riset ilmiah didasarkan pada penalaran induktif — demikian pula kesimpulan yang kita ambil tiap hari tentang apa yang kita pikir akan terjadi di dunia.

    Dalam tulisan ini saya akan meringkas upaya yang paling signifikan untuk menyelesaikan masalah induksi dari perspektif sekuler; yaitu tanpa memperkenalkan tema-tema ‘religius’ seperti rancangan ilahi atau pewahyuan. Secara ringkas saya juga akan menjelaskan mengapa setiap upaya ini tidak menyelesaikan masalah.

    Kenapa tidak ada pengakuan di tulisan anda? Anda mau menipu?

    BalasHapus